Opini

Pemilih Muda dan Pemilu Hijau

Oleh

Nunung Nurazizah

Ketua KPU Pandeglang

Krisis lingkungan global saat ini menjadi tantangan utama umat manusia, ditandai dengan meningkatnya suhu bumi, pencemaran udara dan air, hilangnya keanekaragaman hayati, serta akumulasi limbah yang sulit terurai (IPCC, 2023). Aktivitas manusia, terutama yang tidak berlandaskan prinsip keberlanjutan, menjadi faktor penyumbang terbesar terhadap kerusakan lingkungan ini (Steffen et al., 2015).

Prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi kerangka penting dalam mengatasi tantangan tersebut. PBB melalui Sustainable Development Goals (SDGs) telah menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan (UN, 2015). Tujuan ke-13 SDGs secara khusus menyerukan aksi terhadap perubahan iklim dan dampaknya.

Dalam konteks demokrasi dan politik, perhatian terhadap lingkungan mulai menjadi perhatian serius. Aktivitas politik seperti kampanye pemilu secara tradisional menghasilkan jejak ekologis yang cukup besar, terutama dari penggunaan alat peraga berbahan plastik, konsumsi kertas, serta mobilisasi sumber daya yang tidak efisien (Balgos, 2021). Oleh karena itu, munculnya konsep kampanye ramah lingkungan (green campaign) yang merupakan bentuk inovasi politik dan bertujuan mengintegrasikan nilai-nilai keberlanjutan ke dalam proses demokrasi.

Partai politik pastinya memainkan peran strategis dalam menentukan arah kebijakan publik, termasuk dalam hal kebijakan lingkungan hidup. Sebagai aktor utama dalam sistem demokrasi, partai politik memiliki kemampuan untuk mengusung agenda lingkungan ke dalam platform politik dan visi-misi calon pemimpin, menginisiasi dan mendorong kebijakan legislasi yang pro-lingkungan melalui wakilnya di parlemen, mempengaruhi opini publik dan pemilih melalui narasi kampanye yang menekankan pentingnya keberlanjutan dan membentuk koalisi lintas sektor untuk menanggapi krisis iklim dan degradasi ekologi.

Di banyak negara, partai hijau (Green Parties) secara khusus hadir dengan orientasi lingkungan sebagai inti ideologi politiknya. Namun, tanggung jawab terhadap lingkungan bukan hanya milik partai hijau. Partai-partai konvensional juga dituntut untuk menanggapi krisis iklim sebagai bagian dari isu kesejahteraan jangka panjang.

Dalam praktiknya, komitmen partai terhadap isu lingkungan sering kali dinilai dari dua hal yaitu isi dokumen politik (manifesto, platform kampanye), dan aksi nyata legislatif maupun eksekutif (peraturan, anggaran, program).

Meski demikian, banyak partai politik menghadapi kritik atas praktik yang inkonsisten—misalnya, mengusung wacana hijau dalam kampanye tetapi mendukung kebijakan yang merusak lingkungan saat berkuasa (greenwashing politics).

Kampanye ramah lingkungan atau green campaigning merujuk pada seluruh bentuk aktivitas kampanye politik yang dilakukan dengan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan, serta secara aktif mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab ekologis. Konsep ini muncul sebagai respon terhadap praktik kampanye konvensional yang dinilai boros sumber daya, menghasilkan limbah besar, dan mencemari lingkungan, terutama menjelang dan selama masa pemilu (Balgos, 2021).

Kampanye ramah lingkungan tidak hanya tentang bagaimana kandidat berkampanye, tetapi juga mencerminkan komitmen ideologis terhadap nilai keberlanjutan, baik dalam cara mereka menyampaikan pesan politik maupun isi program yang mereka tawarkan kepada publik.

Meski belum sepenuhnya diatur secara normatif, kampanye hijau menjadi penting dalam membentuk citra politik yang bertanggung jawab dan relevan dengan tantangan zaman. Ini bukan hanya strategi untuk mendapatkan kekuasaan secara legal, tapi juga untuk meminimalisir kerusakan sebelum, ketika, dan pasca kontestasi.

Generasi muda, sebagai pemilih pemula dan agen perubahan, memiliki peran strategis dalam mendorong praktik politik yang lebih berkelanjutan. Namun, sejauh mana mereka menyadari dan memaknai kampanye ramah lingkungan masih menjadi pertanyaan penting dalam studi politik kontemporer.

Dengan meningkatnya kesadaran generasi muda dan tekanan global untuk bertindak terhadap perubahan iklim, partai politik memiliki peluang untuk membangun legitimasi dan basis dukungan baru jika bersedia serius mengintegrasikan politik hijau ke dalam strategi dan kebijakan mereka.

Lebih lanjut, dengan meningkatnya kesadaran generasi muda dan tekanan global untuk bertindak terhadap perubahan iklim, partai politik memiliki peluang untuk membangun legitimasi dan basis dukungan baru jika bersedia serius mengintegrasikan politik hijau ke dalam strategi dan kebijakan mereka

Pemilih muda—biasanya didefinisikan sebagai individu berusia antara 17 hingga 30 tahun—merupakan kelompok strategis dalam demokrasi modern. Secara kuantitatif, mereka sering kali menjadi segmen terbesar dalam daftar pemilih. Namun, lebih dari sekadar jumlah, pemilih muda juga memiliki karakteristik yang berbeda secara kualitatif dibanding generasi yang lebih tua.

Pemilih muda dikenal sebagai kelompok yang kritis terhadap isu sosial dan politik, termasuk isu-isu seperti keadilan, inklusi, dan keberlanjutan lingkungan (Dalton, 2013). Pemilih muda juga mendapat informasi lebih luas melalui media digital dan media sosial, yang memperkuat kemampuan mereka untuk membandingkan dan mengevaluasi gagasan politik. Dan, mereka cenderung menuntut transparansi dan akuntabilitas, serta lebih sensitif terhadap inkonsistensi antara retorika politik dan tindakan nyata (walk the talk).

Namun demikian, karakter kritis ini juga sering dibarengi dengan Skeptisisme terhadap partai politik konvensional, karena dianggap tidak responsif terhadap isu yang relevan bagi generasi muda, dan kecenderungan untuk berpartisipasi dalam bentuk non-konvensional, seperti petisi digital, aktivisme online, atau kampanye isu, alih-alih partisipasi elektoral formal (Norris, 2003).

Dalam konteks isu lingkungan, banyak studi menunjukkan bahwa generasi muda memiliki kepedulian yang tinggi terhadap keberlanjutan dan krisis iklim (Pew Research Center, 2021). Mereka menganggap perubahan iklim sebagai masalah nyata yang mengancam masa depan mereka secara langsung. Oleh karena itu, mereka juga cenderung lebih mendukung kandidat atau partai yang membawa agenda hijau secara konsisten dan kredibel.

Penutup

Pemilu adalah pesta demokrasi yang sangat besar yang menuntut partisipasi dari seluruh warga negara. Untuk itu setiap tahapan harus dipersiapkan secara matang mulai dari konsep hingga pelaksanaan. Demikian juga keberlangsungan lingkungan hidup manusia yang akan terus bergulir dengan atau tanpa pemilu. Maka kampanye pemilu hijau sudah bukan tawaran lagi, ini menjadi keharusan guna mengurangi beban bumi dan kehidupan masa depan yang lebih baik.

Pandeglang, 7 Juli 2025

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 604 kali