Opini

Media Sosial vs Pemilu: Antara Informasi dan Disinformasi (Refleksi Hari Media Sosial Nasional)

Media Sosial vs Pemilu: Antara Informasi dan Disinformasi

(Refleksi Hari Media Sosial Nasional)

Oleh

Nunung Nurazizah

Ketua KPU Pandeglang

Pemilihan umum (Pemilu) merupakan pilar utama dalam sistem demokrasi yang memungkinkan rakyat memilih pemimpin dan wakilnya secara langsung. Dalam dua dekade terakhir, perkembangan teknologi informasi, khususnya media sosial, telah mengubah lanskap politik global, termasuk di Indonesia. Media sosial kini menjadi salah satu arena utama dalam pertarungan politik, tempat para kandidat berkampanye, menyampaikan visi-misi, serta membangun citra dan kedekatan dengan pemilih. Namun, di balik potensi positifnya, media sosial juga membawa risiko serius, terutama dalam bentuk disinformasi dan polarisasi politik.

Media sosial telah menjadi alat strategis dalam kampanye politik. Platform seperti Facebook, X (dahulu Twitter), Instagram, dan TikTok memungkinkan kandidat menyampaikan pesan politik secara langsung tanpa perantara media konvensional. Ini membuka ruang partisipasi yang lebih luas, terutama bagi generasi muda yang akrab dengan teknologi digital. Pemilih dapat mengikuti perkembangan isu, terlibat dalam diskusi, bahkan menyuarakan opini mereka secara terbuka.

Selain itu, media sosial memungkinkan interaksi dua arah antara kandidat dan pemilih. Dialog digital ini dapat memperkuat keterlibatan publik dalam proses politik. Kampanye digital juga lebih murah dan dapat menjangkau audiens secara lebih tertarget melalui fitur iklan berbayar dan algoritma yang mempelajari preferensi pengguna. Tak hanya itu, media sosial memberikan peluang bagi calon-calon dari daerah yang kurang terjangkau media arus utama untuk tampil dan dikenal oleh khalayak luas.

Banyak kandidat juga memanfaatkan influencer, content creator, dan strategi pemasaran digital yang kreatif untuk menjangkau konstituen. Mereka membuat konten yang tidak hanya informatif tetapi juga menghibur, seperti video pendek, meme politik, hingga siaran langsung diskusi publik. Hal ini membuat politik lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.

Di sisi lain, penggunaan media sosial dalam pemilu menghadirkan sejumlah tantangan serius:

  1. Disinformasi dan Hoaks: Informasi palsu menyebar dengan sangat cepat di media sosial. Selama masa kampanye, banyak beredar kabar bohong yang merugikan kandidat tertentu atau menyesatkan pemilih. Ini mengganggu proses demokrasi yang sehat. Hoaks bisa berupa manipulasi gambar, pernyataan palsu yang dikutip seolah-olah berasal dari tokoh tertentu, atau bahkan narasi konspirasi yang berbahaya.
  2. Manipulasi Opini Publik: Kehadiran bot, troll, dan akun anonim kerap digunakan untuk membentuk opini publik secara artifisial. Kampanye hitam dan propaganda digital dapat memengaruhi persepsi pemilih tanpa mereka sadari. Bahkan, strategi microtargeting dalam iklan politik digital dapat menciptakan ‘gelembung realitas’ yang membatasi sudut pandang pemilih.
  3. Polarisasi dan Ujaran Kebencian: Media sosial menciptakan ruang gema (echo chamber) di mana pengguna hanya terpapar pada pandangan yang serupa. Hal ini memperdalam perpecahan politik dan memicu konflik sosial. Polarisasi ini sering kali meluas ke ruang offline dan dapat mengganggu kohesi sosial dalam jangka panjang.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, regulasi dan etika penggunaan media sosial perlu diperkuat. Pemerintah melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah mulai mengatur kampanye digital, meski pelaksanaannya masih menghadapi kendala teknis dan politis.

Beberapa regulasi yang sudah diterapkan mencakup pembatasan dana kampanye digital, kewajiban pelaporan akun media sosial resmi peserta pemilu, serta pengawasan konten kampanye. Namun, penerapan di lapangan masih menghadapi tantangan, terutama karena kecepatan pergerakan informasi di media sosial dan keterbatasan sumber daya manusia dalam pengawasan daring.

Platform media sosial juga memikul tanggung jawab untuk mencegah penyebaran disinformasi, misalnya dengan meningkatkan moderasi konten, menandai informasi yang belum terverifikasi, serta bekerja sama dengan lembaga pemilu dan pemeriksa fakta independen. Namun, masih terdapat keraguan mengenai sejauh mana platform-platform ini bersikap netral dan transparan.

Di sisi lain, literasi digital masyarakat sangat penting. Pemilih perlu memiliki kemampuan untuk memilah informasi, mengenali hoaks, dan berpikir kritis terhadap konten yang mereka konsumsi. Ini bisa dimulai dari program edukasi berbasis sekolah, komunitas, hingga pelatihan bagi jurnalis warga atau relawan pemilu.

Jejak media sosial dalam pemilu

Pada Pemilu 2019 dan 2024, media sosial memainkan peran penting dalam meningkatkan partisipasi pemilih, namun juga menjadi sarana utama penyebaran hoaks politik. Polarisasi antara pendukung pasangan calon presiden sangat terasa di dunia maya, dan berimbas pada hubungan sosial di dunia nyata. Sejumlah studi menemukan bahwa sebagian besar hoaks yang tersebar selama masa kampanye beredar melalui aplikasi pesan instan dan platform media sosial.

Kampanye digital juga menunjukkan kekuatan mesin politik daring. Tim sukses kandidat memanfaatkan big data, analisis perilaku pengguna, dan jaringan relawan digital untuk memengaruhi opini publik. Namun, praktik-praktik seperti serangan buzzer, kampanye negatif yang tidak berdasar, dan politisasi identitas menjadi catatan kritis dalam evaluasi pemilu.

Menghadapi pemilu mendatang, tantangan ini harus diantisipasi. Pengawasan lebih ketat terhadap kampanye digital, edukasi publik, serta transparansi dari platform teknologi menjadi kunci untuk menjaga integritas pemilu. Inisiatif seperti patroli siber, kerja sama dengan lembaga pemeriksa fakta, dan pelibatan masyarakat sipil perlu diperkuat.

Negara-negara lain juga menghadapi tantangan serupa terkait penggunaan media sosial dalam pemilu. Misalnya, dalam Pemilu AS 2016 dan 2020, muncul laporan intervensi asing melalui kampanye disinformasi di media sosial. Pemerintah AS kemudian mendorong transparansi iklan politik digital dan memperkuat kerja sama dengan platform seperti Facebook dan Twitter.

Sementara itu, di India, media sosial menjadi alat kampanye yang sangat kuat, namun juga menimbulkan kekhawatiran terhadap penyebaran kebencian berbasis agama dan etnis. Pemerintah India menerapkan aturan ketat terhadap platform digital, namun hal ini juga menuai kritik karena dianggap membatasi kebebasan berekspresi.

Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan pentingnya keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan tanggung jawab dalam penyebaran informasi digital.

Strategi  Mengimbangi Media Sosial

Meski media sosial semakin dominan, peran media massa dan jurnalisme profesional tetap penting dalam menjaga kualitas informasi. Media arus utama dapat bertindak sebagai penyeimbang narasi yang tidak berdasar dan menjadi sumber verifikasi informasi yang beredar di media sosial.

Kolaborasi antara media berita dan organisasi pemeriksa fakta juga menjadi strategi penting dalam menangkal hoaks. Selain itu, pelatihan jurnalisme warga bisa memberdayakan masyarakat untuk ikut memproduksi konten yang akurat dan bertanggung jawab selama masa pemilu.

Menghadapi masa depan, demokrasi digital perlu diarahkan untuk lebih inklusif, transparan, dan adil. Teknologi kecerdasan buatan (AI) dapat digunakan untuk mendeteksi pola disinformasi secara dini. Namun, penggunaannya juga harus diatur agar tidak menjadi alat sensor yang berlebihan.

Selain itu, penting untuk mengembangkan kebijakan perlindungan data pribadi pemilih, terutama di tengah penggunaan data besar (big data) untuk analisis perilaku politik. Masyarakat harus diberi pemahaman bahwa data mereka memiliki nilai politik dan harus dijaga privasinya.

Penutup

Media sosial membawa transformasi besar dalam proses pemilu. Di satu sisi, ia memperkuat partisipasi dan demokratisasi informasi; namun di sisi lain, ia juga menjadi ladang subur bagi disinformasi dan polarisasi. Potensinya sebagai ruang ekspresi demokratis tidak boleh dibiarkan berubah menjadi senjata yang merusak kepercayaan publik.

Untuk itu, dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, platform digital, lembaga pengawas, dan masyarakat sipil untuk memastikan pemilu yang jujur, adil, dan bermartabat di era digital. Hanya dengan pendekatan yang menyeluruh dan berkesinambungan, demokrasi digital dapat tumbuh sehat dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat.

Pandeglang, 10 juni 2025

 

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 617 kali