Opini

Perempuan di Parlemen

oleh Nunung Nurazizah

Anggota KPU Pandeglang, Divisi Sosdiklih Parmas dan SDM

Hasil Survei Sosial Ekonomi  Nasional yang dilaksanakan oleh BPS pada tahun 2020 menunjukkan penduduk Indonesia berjumlah 270,2 juta jiwa; dengan rincian 136,7 (50,6%) juta jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 133,5 juta jiwa  (49,4 %) berjenis kelamin perempuan. Sementara berdasarkan Indeks Pembangunan Gender (IPG) menunjukkan sumbangan pendapatan perempuan 37,1%, tenaga professional 47,4%, dan keterwakilan di parlemen 20,52% (pemilu 2019).

Berdasarkan data tersebut tampak jumlah penduduk perempuan hampir sama dengan laki-laki. Kemudian tenaga perempuan juga banyak digunakan pada profesi yang cukup baik dan menyumbang pendapatan yang tidak sedikit bagi keberlangsungan ekonomi masyarakat. Hal tersebut menandakan perempuan dapat diterima sebagai seorang professional dan menghasilkan pendapatan secara mandiri bagi diri dan keluarganya.

Namun data IPG tersebut juga menunjukkan rendahnya tingkat keterwakilan perempuan di parlemen yang tak sampai sepertiga dari jumlah kursi yang tersedia. Meski Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 telah memberikan afirmasi perempuan sebesar 30 persen, ternyata belum seiring sejalan dengan penerimaan terhadap sosok perempuan sebagai pelaku politik di masyarakat.

Data Asdep Polhunhankam, Kementerian PPPA 2019, keterwakilan perempuan di parlemen melalui jalur partai politik sebagai berikut; Pemilu 2004 (11%), Pemilu 2009 (18%), Pemilu 2014 (17,6%), dan Pemilu 2019 (20,5%).  Meski data tersebut menunjukkan kenaikan tapi masih jauh dari harapan.

Sementara pada Jalur Perseorangan (DPD) penerimaan pada perempuan nampak jauh lebih baik dibandingkan dengan jalur partai. Keterwakilan perempuan di DPD dari Pemilu ke Pemilu menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. yaitu : Pemilu 2004 (19,8%), Pemilu 2009 (28%), Pemilu 2014 (26%) dan Pemilu 2019 (30,14%).

Ditingkat lokal Pandeglang sendiri, hanya 6 (12%) orang caleg perempuan yang mampu duduk di parlemen pada pemilu 2019, Yaitu : Novia Rahtami (Demokrat), Hj. Jahronah (PPP), Aan Karnaman (Perindo), Eneng Nurhayati (PKB), Rika Kartikasari (Gerindra), dan Sri Widayanti (PKB). Sementara 88% lainnya adalah laki-laki.

Kenapa Caleg perempuan sulit untuk eksis?

Baik Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai politik maupun Undang-Undang 7 tahun 2017 memberikan  peluang  besar untuk perempuan baik dalam struktur kepengurusan partai politik maupun bakal calon legislatif. Bahkan Undang-Undang Dasar tahun 1945 pun berkomitmen pada pemenuhan hak-hak dasar perempuan. Yang dimaksud dengan hak dasar perempuan tidak hanya dalam hal pendidikan, sosial dan ekonomi saja, tapi juga hak memilih dan dipilih dalam pemilu.

Tapi pada realitanya masih terdapat kegagapan secara psikologis para calon perempuan yang mengikuti kontestasi pemilu, baik dari faktor internal maupun eksternal perempuan itu sendiri. Salah satunya adalah calon perempuan cenderung lebih tidak percaya diri saat berkompetisi. Hal ini disebabkan mental yang lemah, kurangnya pengetahuan politik yang memadai, dan minimnya biaya yang dimiliki.

Pemilu merupakan kontestasi besar dan terbuka luas sehingga kekuatan mental adalah modal utama untuk peserta pemilu. Pada perkembangannya mereka akan menghadapi tekanan besar baik dari komunitas sendiri maupun dari eksternal yang tidak dikenalnya. Jika seorang kontestan memiliki mental lemah maka dia akan mudah rapuh, tak mampu menghadapi tantangan dan cenderung bersikap mengalah. Sikap-sikap ini merupakan hal yang berlawanan dengan sikap seorang kontestan yang seharusnya adalah seorang petarung yang tangguh.

Sebagai perempuan yang dikenal dengan sifatnya yang lemah lembut dan perasa, tentu ini menjadi lompatan besar yang harus ditempuh jika ingin menjadi peserta pemilu. Seorang perempuan harus mulai berkiprah diruang publik, seperti bergabung dalam komunitas kajian, seminar, loka karya, yang dapat bermanfaat dalam peningkatan kualitas dan elektabilitasnya.

Lemahnya mental seorang peserta pemilu perempuan bisa juga disebabkan faktor kurangnya pengetahuan politik yang memadai sehingga dirinya merasa ragu dan tidak percaya diri dengan langkah-langkah yang ditempuhnya. Pengetahuan politik tidak hanya hal aturan kepemiluan tapi juga strategi untuk mendapatkan banyak dukungan dalam pemungutan suara. Hal tersebut akan tampak pada tingkat eketabilitas dan kualitas calon itu sendiri. Maka disarankan peserta pemilu untuk mempersiapkan diri menghadapi segala resiko dalam pemilu.  

Hal pembiayaan politik juga menjadi kegelisahan para peserta pemilu perempuan dimana mayoritas mereka hanya memiliki biaya minimal saja. Mereka membutuhkan donatur untuk menanggung biaya tersebut, namun hanya segelintir orang saja yang mendapat bantuan biaya itu dengan mudah, selebihnya mereka harus bersusah payah menanggung biaya pencalonan tersebut. Kekurangan biaya ini menjadikan mereka minim dalam publikasi sehingga mereka kurang populer dibandingkan dengan peserta laki-laki.

Selain faktor-faktor internal diatas, terdapat juga faktor eksternal sulitnya peserta perempuan menduduki parlemen. Diantaranya minimnya kepercayaan publik terhadap calon perempuan dan budaya patriaki yang dianut masyarakat.

Sejauh ini institusi politik masih terasa menjadi ‘’dunia maskulin” yang didominasi pengurus laki-laki. Politik dianggap terlalu eksklusif untuk digeluti oleh perempuan yang dianggap sebagai kaum lemah dan perasa. Rekrutmen politik diinternal partaipun belum sepenuhnya mendorong keterwakilan perempuan, menjadikan lingkungan politik seolah tidak ramah untuk perempuan, khususnya pada masyarakat tradisional.

Sulitnya peserta perempuan mendapat kepercayaan publik tidak hanya dengan alasan elektabilitas dan kualitas, tapi karena mereka perempuan. Stereotype perempuan hanya bisa di dapur-sumur-kasur sangat memojokkan dan cenderung membunuh karakter perempuan. Dipandang rendah, dianggap tidak memiliki kecakapan, bahkan tidak diberi kesempatan untuk eksis dimasyarakat dengan minimnya jumlah perempuan pada jabatan publik.

Pembatasan yang dibuat masyarakat ini banyak merugikan perempuan yang pada ahirnya setia menjadi sub-ordinator atau follower, yang tergantung pada laki-laki sebagai leader-nya. jika terus berlanjut maka afirmasi 30 persen perempuan hanya akan menjadi angka tanpa fakta. Cita-cita mensejahterakan perempuan dengan melibatkannya pada pembangunanpun hanya akan jadi cerita.

Penutup

Amanat Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 dengan afirmasi 30 persen untuk perempuan dalam parlemen tidak hanya menjaga kestabilan emosi parlemen dalam merumuskan sebuah kebijakan, tapi juga memenuhi hak masyarakat perempuan untuk menikmati hasil pembangunan yang pro-kesejahteraan perempuan. Kesejahteraan itu harus diusulkan, diprioritaskan, diputuskan, dikawal oleh pengguna manfaat yaitu perempuan.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 546 kali